Ketika Anak-anak Tak Punya Ruang untuk Bermain


Saat berbicara tentang tanggungjawab sosial, saya tak tahu lagi sampai di mana batasannya. Anak-anak ini, punya orang tua dan tidak miskin, meski juga tidak kaya raya. Setiap hari mereka mampir ke tempat saya membaca buku atau sekedar bermain. Bahkan kadang, mereka tinggal hingga larut malam.
Ketika mereka berkeliaran di luar hingga tengah malam, saya ingin tidak peduli. Ketika mereka mengganggu ketentraman para tetangga, itu bukan urusan saya. Apa pun yang mereka lakukan, bukan tanggungjawab saya. Mereka punya orang tua dan tentu saja bukan saya yang harus memaksa mereka belajar atau mengajarkan mereka bagaimana bersikap sopan dan menjadi anak yang baik. Mereka punya orang tua, dan orang tualah yang harusnya bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan anak-anak mereka.
Tapi saya tak bisa menghindar, ikut merasa gelisah melihat kegelisahan anak-anak  ini. Seperti kemarin, saat mendengar salah seorang di antara mereka sedang berbicara dengan anak-anak mahasiswa yang indekost di dalam komplek dan mengeluarkan kata-kata kasar. Saya ingin tak peduli dan pura-pura tidak mendengar. Teman saya yang kebetulan menginap di rumah ingin memanggil anak tersebut. Saya bilang, ia punya orang tua dan kami tidak bertanggungjawab terhadap anak tersebut. Tapi teman saya bilang, karena kita mendengarnya, maka mau tidak mau kita harus ikut bertanggungjawab.
Maka kami memanggil anak tersebut. Ia datang dengan segera. Karena ia sering mampir membaca buku dan bermain di tempat saya, ia dan juga anak-anak lainnya selalu mendengar apapun yang saya katakan. Sudah lewat pukul 9 malam. Kami memberinya makan dan menegur kelakuannya dan kata-kata kasar yang harusnya tak pantas diucapkan anak-anak. Sambil terus mengunyah makanan, ia berjanji tak akan mengulangi.
Semalam, kami mendengar ribut-ribut di luar dan salah seorang tetangga berteriak mengancam anak-anak. sebabnya, anak-anak tersebut bolak-balik ke depan rumah tersebut dan melempari pagarnya. Sang pemilik rumah tidak terima. Tapi anak-anak toh lebih lincah melarikan diri dari orang dewasa. Mereka bersembunyi beberapa saat, lalu muncul lagi, berdebat dengan sang pemilik rumah dan tidak ada yang mau mengaku sebagai pelaku.
Saya tahu bahwa pemilik rumah yang berang tersebut, juga bagi orang dewasa lainnya yang menyaksikan, akan beranggapan bahwa mereka adalah anak-anak nakal yang tak cukup dididik orang tua, anak-anak nakal yang tak bisa dikasihani. Tapi saya juga sadar, bahwa mereka tidak seburuk itu. Mereka adalah anak-anak yang baik dan jiwa mereka masih suci. Mereka hanya anak-anak yang gelisah, sedang mencoba mengekspresikan diri, dan menemukan hal-hal menyenangkan. Dan yang paling penting adalah, mereka tidak punya tempat untuk bermain. Gertakan, teriakan dan pukulan tak akan membuat mereka berubah menjadi kalem.
Kenapa mereka menjadi gelisah? Komplek perumahan kami, adalah sebuah komplek dengan desain lama, yang tidak mementingkan ruang publik untuk bersantai atau tempat untuk anak-anak bermain. Jangankan ruang publik, jalanan pun begitu sempit hingga hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Dinding setiap rumah saling berdempetan tanpa sela, dan tak ada halaman. Sama sekali tak ada ruang kosong.
Sangat wajar kiranya, jika anak-anak ini menjadi gelisah tak karuan. Ketika mereka tidak tahu harus berbuat apa, maka satu-satunya hal mengasyikkan bagi mereka adalah mengganggu ketenangan orang-orang. Semakin orang yang diganggu naik pitam, semakin mereka akan merasa senang. Tapi tentu adalah hal bodoh jika orang-orang dewasa mengikuti permainan anak-anak tersebut dengan menghardik, memaki atau mengancam akan melaporkan ke orang tua masing-masing.
Kejadian beberapa minggu kemarin jauh lebih mengerikan. Pagi-pagi betul, saat saya belum lagi membuka pintu, terdengar ribut-ribut di depan rumah. Saya tidak akan tertarik memanggil anak-anak ini jika yang terdengar hanya pertengkaran biasa. Mereka berteriak dengan keras, menyebut-nyebut sebuah agama tertentu, disertai kata-kata “anjing” dan “kurang ajar.” Saya membuka pintu dan melihat di ujung jalan, seorang ibu rumah tangga yang sedang menjemur pakaian dikerumuni anak-anak. Ya ampun, anak-anak ini memaki orang dewasa dengan kalimat yang sudah tak bisa ditolerir. Apalagi sudah mulai membawa-bawa agama dan nama binatang.
Saya berteriak memanggil mereka dan mereka pun berlari ke arah saya dengan bergerombol. Saya bertanya mengapa mereka berbuat seperti itu. Mereka membela diri dan memberi penjelasan pada saya. Konon, ibu tersebut yang memulai. Ia menuduh anak-anak ini memukul anak kecilnya hingga menangis. “Dia memfitnah kami. Kami tidak pernah memukul anaknya. Dia yang lebih dahulu menghina agama kami, jadi kami balas.” Ya, betapa agama memang hal yang terlalu sensitif untuk diungkap-ungkap, bahkan anak kecil pun bisa merasa tersakiti. Tapi orang dewasa kadang menilai, toh mereka hanya anak-anak dan belum mengerti apa-apa. Anggapan yang tentu saja salah 100 persen. Mereka memang anak-anak, tapi mereka juga punya perasaan. Perasaan mereka jauh lebih halus dari orang dewasa.
Beberapa bulan belakangan, saya memperhatikan kebiasaan anak-anak tersebut. Jumlah mereka sangat banyak, dan nyaris sama besar. Sebagian besar maasih SD dan beberapa orang sudah SMP. Setiap pulang sekolah, kalau bosan membaca buku atau bermain di tempat saya, maka mereka akan terus berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di dalam komplek. Tak jelas apa yang mereka lakukan, mereka hanya berjalan dan berjalan. Kadang berjalan sendirian, kadang berkelompok. Komplek perumahan ini kecil, bisa dikelilingi dalam waktu kira-kira setengah jam.
Hari ini, mereka mampir lagi. Mereka melihat tumpukan kertas di atas meja dan meminta izin untuk menggambar. Saya memberikan mereka pensil warna, lantas masuk ke kamar karena sedang banyak pekerjaan. Saya membiarkan mereka main di luar. Sebentar kemudian, mereka mengetuk pintu kamar saya berulang-ulang dan tak berhenti hingga saya buka. Ternyata mereka hanya ingin memamerkan gambar. “Apa gambar saya bagus?” “Kakak suka?” Dengan wajah polos, mereka memamerkan apa yang telah mereka lakukan dengan usaha sendiri. Saya tahu mereka berharap pujian. Mereka senang sekali ketika saya mengizinkan mereka menempel gambara-gambar tersebut di dinding. Meski saya terperangah melihatnya, tapi saya tetap mengatakan gambar-gambar mereka indah. Saya meminta mereka menempel di jendela, dekat pintu. “Biar orang-orang yang masuk lihat,” kata saya.
Saya dan teman saya mulai membuat analisa kecil-kecilan. Barangkali mereka bosan di rumah. Barangkali suasana rumah mereka tidak menyenangkan. Barangkali orang tua mereka tidak manis memperlakukan mereka. Atau entah apapun yang mereka cari, mereka butuh ruang publik untuk bermain, dan orang tua yang sesekali mengajak mereka bicara layaknya orang dewasa, bukan sebagai anak-anak. Sebab jika orang tua tak membentuk karakter anak-anaknya, lingkunganlah yang akan membentuknya. Dan tidak ada yang tahu lingkungan seperti apa, baik atau buruk.



Posting Komentar

0 Komentar