Mahalona, Merica dan Ancaman Bencana Alam


Hutan telah dibakar, tiang telah dipancangkan, bibit merica telah ditanam
Apa yang Anda pikirkan saat melihat begitu banyak mobil mewah berlalu-lalang di jalan raya? Barangkali, hal pertama yang terlintas di pikiran adalah, sang pemilik mobil pasti seorang konglomerat, pengusaha kaya raya, atau pejabat. Sejenis orang yang tentu tak kesulitan membeli kendaraan seharga setengah miliar rupiah ke atas.
Tapi di Luwu Timur, tidak demikian. Jika menyusuri jalan-jalan desa, kita akan sangat sering berpapasan dengan mobil-mobil mahal berbagai merk. Fortuner, Hilux, Strada, Pajero, hingga sekelas Avanza. Pemiliknya? Bukan pejabat atau pengusaha, melainkan petani biasa. Mereka adalah petani-petani yang tiba-tiba menjadi menjadi kaya raya dari hasil bertanam merica.
Kebun merica di Kabupaten Luwu Timur paling banyak saya temukan di Kecamatan Towuti. Lahan merica menyebar di sepanjang jalan, di tepi Danau Towuti dan Danau Mahalona, dalam perjalanan menuju kawasan Mahalona. Saya menyebutnya sebagai kawasan Mahalona karena awalnya, daerah ini hanya terdiri atas satu desa (Desa Mahalona) yang kemudian dimekarkan menjadi 5 desa. Di sana, tanaman merica tampak tumbuh gemuk dan subur, bertumpu pada tiang-tiang yang ditancapkan dengan kuat ke dalam tanah pegunungan yang gembur. Pada tiang-tiang itu, buah-buah merica bermunculan menjuntai-juntai dengan lebatnya.
Mahalona berjarak sekitar 34 kilometer dari Ibukota kecamatan. Penduduknya, pada umumnya adalah petani. Kawasan ini juga merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) di Luwu Timur. Mahalona dihuni oleh orang-orang dari beragam suku dan etnis. Bugis, Makassar, Jawa, dan Bali. Untuk menuju ke sana, kita akan membelah hutan, melewati jalan yang belum beraspal. Kubangan air dan lumpur, jembatan dari dua belahan pohon, adalah pemandangan yang lazim. Pada musim hujan, tidak sembarang kendaraan yang bisa melewati jalan tersebut. Orang-orang Mahalona sendiri, yang tentu sudah paham kondisi tersebut, telah mengantisipasi. Mereka mendesain kendaraan roda dua agar bisa melewati jalan macam ini. Demikian juga dengan mobil-mobil angkutan yang biasanya berupa mobil jenis Panther atau Kijang. Umumnya, ban mobil akan diganti dengan jenis GT Radial yang cocok melewati segala medan, termasuk jalan berlumpur.
Akses jalan ke Mahalona
Tapi sejak lonjakan harga merica itu, para petani menemukan jenis kendaraan yang lebih tepat dan praktis yang tak perlu dimodifikasi ulang. Dan tentunya, terlihat terlalu mewah untuk kelas kawasan pemukiman transmigrasi di tepi hutan seperti Mahalona. Di jalan tanah merah yang penuh kubangan lumpur itu, berseliweran motor jenis trail yang tampak masih baru. Ninja. Juga mobil jenis double cabin. Mitsubishi Strada atau Toyota Hilux.
“Di sini, orang-orang membeli mobil seperti membeli sayur,” kata Mamad, sopir yang mengantarkan saya dan teman-teman dari JURnaL Celebes dari Towuti ke Desa Buangin. Desa Buangin berada di ujung kawasan Mahalona, berbatasan langsung dengan Sulawesi Tengah dan Tenggara. Mamad berkata demikian karena orang-orang itu membeli mobil mahal seakan tanpa beban. Jika ingin beli mobil, ya langsung beli saja. Tunai. Tanpa tawar menawar. Persis seperti membeli sayur. Jika ingin mobil jenis lain, ya beli lagi. 
“Orang itu baru kemarin beli mobilnya,” kata Mamad lagi saat kami berpapasan dengan sebuah mobil Hilux yang pengemudinya ia kenal. Mobil itu berhenti di sisi mobil kami. Pengemudinya bercakap-cakap sejenak dengan Mamad. “Ia sedang membangun rumah senilai 1 Miliar,” tambah Mamad saat mobil kembali melaju.
Sejak kurang lebih setahun terakhir, harga merica melonjak drastis. Sekilo bisa dijual seharga Rp 110-150 ribu. Bayangkan saja jika seseorang memiliki 1000 pohon merica dalam sepetak lahan. Setiap pohon, biasanya bisa menghasilkan 5-6 kilogram sekali panen, yang dilakukan sepanjang September hingga Februari dalam setiap tahun. Buahnya bermunculan tak henti-henti. Sekali panen, petani bisa menghasilkan ratusan juta. Bagaimana dengan panen kedua, ketiga, dan seterusnya?
Camat Towuti, Pak Aswan Azis mengatakan, di Towuti ada kepala desa yang memiliki kebun merica hingga 150 hektar. (Bisa membayangkan berapa uang yang diperoleh setiap panen yang berlangsung selama 6 bulan non-stop setiap tahun? Saya tidak bisa). Jika ia hendak menjual hasil panen, ia akan carter kapal ke Surabaya, menyeberang melalui Pelabuhan Timampu. Jika ingin bawa uang hasil panen ke bank, ia akan minta dikawal polisi dalam perjalanan. Menurut Pak Aswan, salah seorang pedagang pengumpul merica di Towuti pernah melakukan pembelian hingga Rp 700 Miliar. Peredaran uang sebanyak itu di sebuah kecamatan kecil, tentu merupakan hal yang terlalu luar biasa.
Hutan yang telah dibakar untuk berkebun merica
Merica di Mahalona tak serta merta bisa disebut telah menyejahterakan petani, tapi juga merusak dan menghancurkan. Bahkan dampak kerusakan itu terasa lebih mengkhawatirkan ketimbang keuntungan yang diterima oleh hanya segelintir petani saja. Orang-orang yang beruntung itu adalah yang sedari awal fokus bertanam merica, jauh sebelum harga melonjak. Sementara mereka yang hanya mengembangkan tanaman lain, atau tidak memiliki lahan, hanya jadi penonton atau buruh pemetik. Kecemburuan meningkat. Banyak petani yang kecurian saat hasil panennya tengah direndam. Biasanya buah merica direndam selama 15-18 hari sebelum dikelupas dari kulitnya. Adapula yang kalap membabat hutan agar bisa ikutan menanam merica.
Merica membuat banyak hal berubah di Towuti, termasuk gaya hidup penduduknya. Sehabis panen, mereka berbondong ke Makassar, berkunjung ke mall-mall, dan membeli sejumlah barang, yang terkadang berlebihan. Cerita lain mengenai ini saya dapatkan dari Pak Ulfa di Desa Buangin. “Ada teman saya, pergi ke Makassar hanya untuk sekedar cukur rambut,” ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Para petani yang sedari awal tak memiliki kemampuan dan pengetahuan mengenai sistem manajemen keuangan, jadi kalap ketika mendadak memiliki uang banyak. Mereka menjadi konsumtif secara berlebihan, tak terpikir untuk investasi. Padahal, lonjakan harga hasil pertanian macam ini, biasanya terjadi secara berkala dan hanya beberapa saat, tidak terus-menerus.  Hal sama pernah terjadi dengan kakao dan cengkeh. Di kampung saya di Bulukumba, para petani sama kalapnya ketika itu. Konon, ada yang membeli kulkas meski rumahnya belum dialiri listrik. Akhirnya, kulkas malang itu difungsikan sebagai lemari pakaian.
Harga barang kebutuhan pokok di Towuti juga berubah drastis. Semuanya melonjak tanpa tedeng aling-aling. Penyebabnya adalah kebiasaan penduduk, khsusnya petani merica membeli barang-barang tanpa tawar-menawar dengan penjualnya. Untuk apa menawar? Uang yang ada saja bingung mau dikemanakan. Merica pulalah yang merusak kebiasaan gotong royong, yang biasanya masih tumbuh mekar di desa-desa terpencil seperti Mahalona. Warga tak lagi berminat saling membantu, atau bergotong royong membangun fasilitas publik. Setiap tenaga yang dikeluarkan mesti ada harganya. Untuk apa gotong royong, jika mereka bisa menghasilkan uang Rp 80 ribu sehari jika memetik merica di desa sebelah?
Tanaman merica di sepanjang jalan
Sementara itu, anak-anak pun terkena dampaknya. Di warung-warung di desa, menurut Pak Rahmat, anak-anak bisa belanja jajan hingga 3 kali sehari. Pagi-pagi, mereka akan datang ke warung dengan membawa uang pecahan 100 ribu. Sekali belanja menghabiskan 20-30 ribu. Sisa uang kembalian akan dihabiskan saat mereka jajan lagi pada siang dan sore hari. Yang menggelisahkan, gaya hidup anak-anak petani merica itu, entah mengapa telah menular pada anak-anak lain, yang orang tuanya tak punya kebun merica. Mereka seakan tak mau kalah.
Hal paling menakutkan, yang kelak akan menjadi puncak dari bom merica ini adalah kerusakan hutan. Di sepanjang jalan desa, saat kita mendongak ke atas ke arah pegunungan, akan tampak dengan sangat jelas lahan-lahan yang tak lagi hijau. Seluruhnya berganti menjadi hamparan tanah kecoklatan dengan potongan-potongan kayu hitam sisa pembakaran hutan. Pelakunya adalah orang-orang yang tergoda tingginya harga merica. Seperti petani yang telah merasakan manisnya hasil bertani merica, mereka juga ingin merasakan hal yang sama. Karena tak punya lahan, jalan satu-satunya yang mereka lakukan adalah membakar hutan. Kayu sisa hasil pembakaran mereka tegakkan kembali untuk bakal tempat merambatnya tanaman merica.
Salah satu kawasan yang telah gundul akibat dibakar dengan segaja, saya saksikan langsung ketika menyusuri tepian Sungai Lamonto yang mengalir di belakang pemukiman warga Desa Buangin. Menurut Kepala Desa Buangin, Pak Rahmat, kawasan itu beberapa bulan sebelumnya masih hijau. Luas lahan yang dibakar mungkin mencapai 3 hektare, memanjang di tepian sungai. Di beberapa bagian sudah ditanami bibit merica. Pak Rahmat, mengaku tak tahu siapa yang melakukannya. Kawasan tersebut sebenarnya masih masuk area lahan transmigrasi. Warga Desa Buangin sendiri, kebanyakan hanya menjadi buruh pemetik di desa tetangga.
Di sela-sela perbukitan yang telah gundul itulah, Sungai Lamonto yang berhulu di Morowali, mengalir dengan derasnya. Sungai ini menjadi sumber irigasi bagi lahan pertanian warga di 5 desa. Kita yang menyaksikan kenyataan ini dari jauh saja, dapat membayangkan bahaya apa yang hendak dituai oleh warga di sana. Cepat atau lambat, jika tak segera ada penanganan, tanah dari ketinggian itu, yang kini tanpa pepohonan, akan longsor ke bawah dan menghancurkan kawasan Mahalona dan sekitarnya, seperti peristiwa yang sudah-sudah. Hal seperti ini sebelumnya pernah terjadi di Enrekang dan Sinjai. Banjir bandang yang bermula dari pegunungan gundul mengalir jauh hingga kota, menghancurkan lahan pertanian dan rumah-rumah penduduk. Bahkan mengambil korban nyawa. Tanaman merica memang berbuah manis. Tapi akibat jangka panjangnya, tentulah pahitnya tak tertanggungkan.  (*)
Makassar, Mei 2016

Posting Komentar

0 Komentar